Pertempuran Mu'tah terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal
8 Hijriah, dekat kampung yang bernama Mu'tah, di sebelah timur Sungai Yordan
dan Al-Karak, antara pasukan Muslim yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur (Damaskus).
Setelah Perjanjian Hudaibiyyah disepakati, Rasulullah mengirimkan surat-surat dakwah sekaligus berdiplomasi kepada para
penguasa negeri yang berbatasan dengan jazirah arab,
termasuk kepada Heraklius, Kaisar Romawi
Timur. Pada Tahun 7 Hijriah atau 628 Masehi, Rasulullah menugaskan al-Harits bin ‘Umair untuk mengirimkan surat dakwah
kepada Gubernur Syam (Suriah) bernama Hanits bin Abi Syamr
Al-Ghassani yang baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi.
Dalam Perjalanan di daerah sekitar Mut'ah, al-Harits bin ‘Umair
dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin
‘Amr Al-Ghassani pemimpin dari
suku Ghassaniyah
(Pada waktu itu yang berkuasa di wilayah Palestina
dan sekitarnya). Dan Pada tahun yang sama Utusan Rasulullah pada Bani Sulaiman dan Dhatul Talh daerah disekitar negeri Syam
(Suriah) juga dibunuh oleh penguasa sekitar. Sebelumnya, tidak
pernah seorang utusan dari Rasulullah SAW dibunuh dalam
misinya menyebarkan agama islam. Mendengar terbunuhnya utusan Rasulullah tersebut maka marahlah Beliau dan mengirimkan pasukan untuk membalaskan kematian utusannya.
Sedangkan menurut sumber-sumber Barat modern, pertempuran
ini adalah upaya penaklukan yang gagal terhadap bangsa Arab di sebelah timur
Sungai Jordan. Tentunya hal ini dikritisi sebab tidak mampu menjelaskan secara
logis latar belakang pertempuran, antara pasukan muslim yang bahkan belum mempersatukan jazirah Arab dan belum menguasai Mekkah yang berani menentang kekuasaan bangsa
adidaya Romawi didaerah utara yang sangat jauh dari Madinah.
Jalannya Pertempuran
Sebelum pasukan islam berangkat untuk menegakkan panji La
ilaha Illallah, Rasulullah SAW telah menunjuk tiga orang sahabat
sekaligus mengemban amanah komandan secara bergantian bila komandan
sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan hingga mengakibatkan tidak
dapat meneruskan kepemimpinan. Sebuah keputusan yang belum pernah beliau
lakukan sebelumnya. Mereka itu adalah Ja'far bin Abi Thalib, Zaid bin
Haritsah (berasal dari kaum muhajirin) dan seorang sahabat dari Anshar yakni Abdullah bin Rawahah sang penyair Rasulullah SAW.
Singkatnya, pasukan islam yang berjumlah 3.000 personel diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an,
terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100.000 pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku
Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar yang demikian,
sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan
kepada Rasulullah atau beliau memutuskan suatu perintah.
Abdullah bin Rawahah r.a lantas mengobarkan semangat juang para
sahabat radhiyallahu ‘anhum pada waktu itu dengan perkataannya , “Demi Allah,
sesungguhnya perkara yang kalian tidak sukai ini adalah
perkara yang kamu keluar mencarinya, yaitu
syahadah (gugur dimedan perang dijalan Allah Azza wa Jalla). Kita itu tidak
berjuang karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini
yang Allah Azza wa Jalla telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya
ada salah satu dari dua kebaikan : kemenangan atau gugur (syahid) di medan
perang.”
Orang-orang pun menanggapinya dengan berkata, “ Demi Allah, Ibnu
Rawanah berkata benar”.
Zaid bin Haritsah r.a, panglima pertama yang ditunjuk
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kemudian membawa pasukan ke wilayah
Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi
anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla.
Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib r.a. Sepupu Rasulullah SAW ini berperang sampai tangan kanannya
putus. Bendera beliau pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh
tangan musuh. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tak mengenal surut, saat
tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau
gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Abdullah
bin Umar
r.a, salah seorang saksi mata yang ikut
serta dalam perang itu, terdapat tidak
kurang 90 luka
di bagian tubuh depan beliau baik akibat tusukan pedang maupun anak panah.
Giliran Abdullah bin Rawahah r.a pun datang. Setelah menerjang musuh,
ajal pun memjemput beliau di medan peperangan.
Tsabit bin Arqam r.a mengambil bendera yang telah tak
bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti
yang akan memimpin kaum muslimin. Maka pilihan
mereka pun jatuh kepada Khalid bin Walid r.a. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi dari Khalid bin Walidlah – setelah taufik dari Allah Azza wa
Jalla – kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian yang cukup besar.
Pasca pertempuran
Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum
muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara
Romawi dan Nashara Arab, secara logis kekalahan bakal di alami oleh para
sahabat Rasulullah SAW.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan ketakjubannya
terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla melalui hasil peperangan yang berakhir
dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata : “Ini kejadian yang menakjubkan
sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama
pasukan yang berjuang dijalan Allah Azza wa Jalla, dengan kekuatan 3.000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu
pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab.
Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang
yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin. Padahal, jumlah korban tewas dari
kaum musyirikin sangat banyak”.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“
|
Orang-orang
yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak
terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan
izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah 2:249)
|
”
|
Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata
mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka yang syahid tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut
hitungan yang terbanyak. Padahal peperangan Mu’tah sangat lah sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid r.a menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang
tersisa, pedang hasil buatan Yaman.
Khalid bin Walid rahimahullah berkata, “Telah patah Sembilan pedang
ditanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.
Menurut Imam Ibnu Ishaq seorang Imam dalam ilmu sejarah
Islam, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 Sahabat saja. Secara terperinci dari kalangan kaum Muhajirin yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan
budak Rasulullah SAW yakni Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Mas’ud bin
al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah al-‘Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh
radhiyallahu ‘anhum.
Sementara dari kalangan kaum Anshar, Abdullah bin Rawahah, Abbad bin Qais al-Khozarjayyan, al-Harits bin
an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin ‘Amr bin Athiyyah bin
Khansa al-Mazini radhiyallahu ‘anhum.
Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam rahimahullah dengan
berlandaskan keterangan az-Zuhri rahimahullah, menambahkan empat nama dalam
deretan Sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang gugur di medan perang
Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini adalah saudara sekandung. Ditambah Amr bin Amir putra Sa’ad bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha. Mereka berasal dari
kaum Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada
bertambah menjadi 12 jiwa. Sedangkan kerugian dipihak Romawi Timur dan sekutunya berjumlah 20.000 jiwa.