Kamis, 03 Januari 2013

Pertempuran Mu'tah




Pertempuran Mu'tah terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah, dekat kampung yang bernama Mu'tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al-Karak, antara pasukan Muslim yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur (Damaskus).

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah disepakati, Rasulullah mengirimkan surat-surat dakwah sekaligus berdiplomasi kepada para penguasa negeri yang berbatasan dengan jazirah arab, termasuk kepada Heraklius, Kaisar Romawi Timur. Pada Tahun 7 Hijriah atau 628 Masehi, Rasulullah menugaskan al-Harits bin Umair untuk mengirimkan surat dakwah kepada Gubernur Syam (Suriah) bernama Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yang baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Dalam Perjalanan di daerah sekitar Mut'ah, al-Harits bin ‘Umair dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani pemimpin dari suku Ghassaniyah (Pada waktu itu yang berkuasa di wilayah Palestina dan sekitarnya). Dan Pada tahun yang sama Utusan Rasulullah pada Bani Sulaiman dan Dhatul Talh daerah disekitar negeri Syam (Suriah) juga dibunuh oleh penguasa sekitar. Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah SAW dibunuh dalam misinya menyebarkan agama islam. Mendengar terbunuhnya utusan Rasulullah tersebut maka marahlah Beliau dan mengirimkan pasukan untuk membalaskan kematian utusannya.

Sedangkan menurut sumber-sumber Barat modern, pertempuran ini adalah upaya penaklukan yang gagal terhadap bangsa Arab di sebelah timur Sungai Jordan. Tentunya hal ini dikritisi sebab tidak mampu menjelaskan secara logis latar belakang pertempuran, antara pasukan muslim yang bahkan belum mempersatukan jazirah Arab dan belum menguasai Mekkah yang berani menentang kekuasaan bangsa adidaya Romawi didaerah utara yang sangat jauh dari Madinah.

Jalannya Pertempuran

Sebelum pasukan islam berangkat untuk menegakkan panji La ilaha Illallah, Rasulullah SAW telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus mengemban amanah komandan secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan hingga mengakibatkan tidak dapat meneruskan kepemimpinan. Sebuah keputusan yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya. Mereka itu adalah Ja'far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah (berasal dari kaum muhajirin) dan seorang sahabat dari Anshar yakni Abdullah bin Rawahah sang penyair Rasulullah SAW.
 
Singkatnya, pasukan islam yang berjumlah 3.000 personel diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an, terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100.000 pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar yang demikian, sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah atau beliau memutuskan suatu perintah.

Abdullah bin Rawahah r.a lantas mengobarkan semangat juang para sahabat radhiyallahu ‘anhum pada waktu itu dengan perkataannya , “Demi Allah, sesungguhnya perkara yang kalian tidak sukai ini adalah perkara yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahadah (gugur dimedan perang dijalan Allah Azza wa Jalla). Kita itu tidak berjuang karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah Azza wa Jalla telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan : kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”

Orang-orang pun menanggapinya dengan berkata, “ Demi Allah, Ibnu Rawanah berkata benar”.

Zaid bin Haritsah r.a, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib r.a. Sepupu Rasulullah SAW ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera beliau pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh tangan musuh. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tak mengenal surut, saat tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Abdullah bin Umar r.a, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau baik akibat tusukan pedang maupun anak panah.
 
Giliran Abdullah bin Rawahah r.a pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun memjemput beliau di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam r.a mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang akan memimpin kaum muslimin. Maka pilihan mereka pun jatuh kepada Khalid bin Walid r.a. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi dari Khalid bin Walidlah – setelah taufik dari Allah Azza wa Jalla – kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian yang cukup besar.

Pasca  pertempuran

Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab, secara logis kekalahan bakal di alami oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata : “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang dijalan Allah Azza wa Jalla, dengan kekuatan 3.000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin. Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak”.
 
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah 2:249)

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka yang syahid tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal peperangan Mu’tah sangat lah sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid r.a menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, pedang hasil buatan Yaman.

Khalid bin Walid rahimahullah berkata, “Telah patah Sembilan pedang ditanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.
 
Menurut Imam Ibnu Ishaq seorang Imam dalam ilmu sejarah Islam, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 Sahabat saja. Secara terperinci dari kalangan kaum Muhajirin yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah SAW yakni Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Mas’ud bin al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah al-‘Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh radhiyallahu ‘anhum.
Sementara dari kalangan kaum Anshar, Abdullah bin Rawahah, Abbad bin Qais al-Khozarjayyan, al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin ‘Amr bin Athiyyah bin Khansa al-Mazini radhiyallahu ‘anhum.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam rahimahullah dengan berlandaskan keterangan az-Zuhri rahimahullah, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini adalah saudara sekandung. Ditambah Amr bin Amir putra Sa’ad bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha. Mereka berasal dari kaum Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa. Sedangkan kerugian dipihak Romawi Timur dan sekutunya berjumlah 20.000 jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar