Khalifah (Arab:خليفة Khalīfah) adalah gelar
yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr
al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman",
atau "pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat menjadi
"amir".
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang
berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa
kekhalifahan kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol,
Afrika
Utara, dan Mesir.
Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan
negara maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan pemilu ataupun
dengan majelis Syura' yang merupakan
majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan)
dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan
dengan cara bai'at yang merupakan
perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah,
yaitu sebuah sistem pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam
sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat
Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin
An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari definisi ini, jelas
bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia.
Jabatan dan pemerintahan kekhalifahan terakhir, yaitu
kekhalifahan Utsmani berakhir dan
dibubarkan dengan pendirian Republik
Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan
kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis
Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The
Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.
Etimologi
Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan
sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal
keberadaannya, para pemimpin Islam ini menyebut diri mereka sebagai
"Khalifat Allah", yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi
pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi "Khalifat rasul
Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian
menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun
begitu, beberapa akademisi memilih untuk
menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat Islam tersebut.
Kelahiran Kekhalifahan Islam
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak
secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam
setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang
akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?
Pengganti Nabi Muhammad
Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic
Conquests (1981), berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab
ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga
(bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih
pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau musyawarah ini.
Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya,
walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum
Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan
Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam
masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun
dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir dalam musyawarah saat
itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus
kepemimpinan Islam yang akan menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad
meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai imam
shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi Khalifah pertama dalam
sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad.
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan
Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak indikasi
yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus
menantunya, sebagai pengganti dirinya. Mereka mengatakan bahwa Abū Bakar
merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan. Semua Khalifah sebelum Ali juga
dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini, hal inilah yang memicu
munculnya kaum Syiah
belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah,
lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan khalifah
"Siapa yang akan menggantikan Nabi
Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; mereka
juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi.
Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat islam,
tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan
praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad.
Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk menentukan seberapa besar
kekuasaan seorang Khalifah.
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu
dari Allah,
karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi,
tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabi atau rasul. Untuk
mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis
dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan
menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang
pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi
oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa
khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa
hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah
pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada
khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph,
menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting
dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan
tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya
pengaruh ulama
di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama
sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat,
sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh
Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling
tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan
saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi
hal-hal yang bersifat duniawi
sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat
antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut
dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini
berakhir dengan kemenangan para ulama. Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi
terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap
menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.
Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan
pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga
kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan
setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para
khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama
sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah
umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin,
Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada
hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai
bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan
memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Struktur pemerintahan Negara Khilafah
Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat
dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
- Khalifah
Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
- Mu'awin Tafwidh
Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
- Mu'awin Tanfidz
Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
- Amirul Jihad
Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
- Wali
Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
- Qadi
Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
7. Jihaz Idari
Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
- Majelis Ummat
Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.
Karakter kepemimpinan Kekhalifahan
Islam
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam
ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah
kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal
ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of
Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were
deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana
kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali
literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah
sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam,
dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan,
memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara),
menerima zakat
mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian,
menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya,
menghilangkan perselisihan di antara sesama,
menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan
bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya,
tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu
Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang
kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk
bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat.
(Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti
yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus
mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya,
(Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi
Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan
kekuasaan politik di dunia."
Pencabutan gelar Khalifah
Kebanyakan ulama menolak pencabutan gelar Khalifah
apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang terjadi adalah sebaliknya, banyak
pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain yang melakukan
revolusi di Karbala
melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr kepada Yazid, untuk
kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.
Dr. Abdul Aziz Islahi berpendapat dalam masalah ini:
Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga
menggunakan sudut pandang ini, William
Archibald Dunning berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi
individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa
lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik.
Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang
beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi
warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk
kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."
Sejarah
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum
kematiannya, kaum Muslim menerima hal ini tanpa terjadi perdebatan. Pengganti
Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan
kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin seperti seorang
"raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang dipilih oleh
rakyat. Utsman pun akhirnya dibunuh oleh seseorang dari kelompok yang tidak
puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar Muslim waktu itu
di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima oleh beberapa
kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh
setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut sebagai "Fitnah", atau perang sipil
islam pertama.
Bani Umayyah
Salah satu kelompok penentang Ali bin Abi Thalib adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu
itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu
Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan
kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya,
pendiri Bani Umayyah.
Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium,
bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi
daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen,
dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang
selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam
berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara
sampai ke Spanyol.
Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat
Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah
tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih
mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka
yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih
sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul
beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir
kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan
kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan
kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani
Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi
Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim
akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasyiah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan
selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu
pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan
menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian
diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh
dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan
tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa
dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang
muslim Syi'ah
dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak
perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad,
mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas
daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut
kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah
kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani
Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol,
kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya
dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan "bayangan"
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan
berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi
Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun
kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan
Kesultanan Mameluk.
Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi pada
urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada masa-masa
sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".
Kekaisaran Utsmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Utsmaniyah, para pemimpinnya
mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian
bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan
Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab.
Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil
III, dipenjara dan
dikirim ke Istambul.
Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Salim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih
untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Muhammad II
dan cucunya, Salim, yang menggunakan
gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan
untuk kepentingan politik
daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Utsmaniyah
membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Utsmaniyah
berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan
kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki
populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam
surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan
Abdul hamid I, menyatakan
bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini
menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui
secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Utsmaniyah menjadi
sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Utsmaniyah semakin meningkat.
Sekitar tahun 1880 Sultan Abdul hamid II menegaskan kembali status
kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa yang semakin
menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu
dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia
I, Kekhalifahan Utsmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya
mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan
paling kuat di dunia.
Kekhilafahan 'ala Minhaji an-Nubuwah
Setelah hampir satu abad sejak runtuhnya kekhilafahan
sebagai wadah pemersatu, umat islam semakin berpecah dan menggolong-golongkan
diri, dari bentuk negara islam, organisasi islam, partai islam dan lain
sebagainya. Tidak sedikit dari mereka yang meneriakkan bersatunya umat, namun
tak juga ditemukan titik temu walai sudah berbagai kongres dan pertemuan
terlaksana. hingga pada kongres mujahiddin se dunia tahun 1997 yang di
selenggarakan di Indonesia, Al Ustadz Abdul Qadir Hasan Baraja mengajak seluruh
mujahiddin yang hadir untuk kembali membentuk ke khilafahan islam.
Walaupun dalam Kongres Mujahiddin ide beliau tersebut di
tolak, namun atas dasar perintah Allah, bahwasanya umat muslim dilarang berpecah belah maka beliau membuat maklumat berdirinya kembali kekhilafahan umat
muslim, dan terpilih sebagai Khalifah sementara sampai adanya
musyawarah para ulama untuk memilih dan menetapkan khalifah/amirul mu'minin
bagi segenap Ummat Islam secara konvensional.
Keruntuhan kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan
kekhalifahan Islam yang terakhir, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, terjadi akibat adanya
perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Islambul
pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan
banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan
khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri,
sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah
dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan
Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada
dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul
dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau
kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan
khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan
khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan
Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus
pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen,
yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen,
Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik
yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal
29 November
1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden
pertama Turki.
Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan
digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan
beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Majid II terus berusaha mendukung
pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha.
Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang
menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan
beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya.
Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha
mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan
"Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan
"Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret
1924, ia memecat khalifah sekaligus
membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal
inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga
Shaikh al-Islam/Kekhalifahan. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan
religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki".
Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua
sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman,
termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini,
Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki
kantor cabang di Eropa
(Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah
adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara,
hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip
sekularisme Turki
yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan
kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang
berhasil. Hussein bin Ali, seorang
gubernur Hejaz
pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya
pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua
hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama
kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI
juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah
di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan
pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang
berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
Gerakan Khilafah
Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafah", sebuah
gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar
diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu
menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan
pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim
tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari
pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko
dan Mullah Muhammad Umar, pemimpin
rezim Taliban
di Afganistan,
kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya.
Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini adalah Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional
dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan
negara-negara mayoritas Muslim.
Perbandingan kekhalifahan dengan sistem
pemerintahan lain
Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang
pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
- Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibai’at buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
- Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah
Dalil al-Qur'an
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti
negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki
pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan
hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah
kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara
kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil
Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha,
berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu,
seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan
kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin
mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah
suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil
amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil
amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan
mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi
mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan
menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’
al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah
SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan
Allah SWT. Firman Allah SWT:
Maka putuskanlah perkara di antara di
antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
Dan putuskanlah perkara di antara di
antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti
hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab)
Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak
ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur
rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam
hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada
Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu
berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah,
tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan
(as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan
Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini
menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum
Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar)
dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa
akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah
SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang
adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan
(thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan
Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud
adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan
larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu)
maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al
fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan
tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum
syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti
(fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab
tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar
(memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan
Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai
begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan
mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum
muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa
membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan
menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika
datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang
itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum
muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut
kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat
seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi
orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang
wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab
kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang
begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi
orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah
menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat
menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti
Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar,
Umar bin
Khathtab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan
Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang
Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu
kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman
jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para
Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata
sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat
Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat
lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula
bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam,
padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi
secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk
segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah.
Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang
Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka
telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul
perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi
Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai
wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW
maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu
Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat
Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga
wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali
adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Menerapkan
hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib.
Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya
kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan
kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan
bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas
seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali
telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al
Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para imam mazhab (Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah
(Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang
imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong
orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan
Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan
Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang
Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka
pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’
yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal.
265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy
A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al
Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah
sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh
Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang
wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah
Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang
menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.
5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As
Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal.
62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah,
hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al
Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul
Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr.
Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq,
Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal.
124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,
Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan
Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan
tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur
Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak
Ada Negara Islam oleh Nurcholish
Madjid.
Daftar Khalifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar