Kekhalifahan Abbasiyah (Arab:
الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab:
العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan
kedua Islam
yang berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah
dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia (Spanyol dan Portugal sekarang). Bani Abbasiyah dirujuk kepada
keturunan dari paman Nabi Muhammad
yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu
mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 M dan
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi
pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya
merupakan bagian dari tentara reguler kekhalifahan yang mereka bentuk, dan
dikenal dengan nama Mamluk (budak). Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran,
kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti
setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah
yang melarikan diri, Maghrib (Maroko) dan Ifriqiya (Afrika Utara) kepada Aghlabid dan Fatimiyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang
dipimpin Hulagu Khan keturunan dari Gengiz Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi
saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut
Tikrit,
Irak sekarang.
Pendahuluan
Pada awalnya Muhammad bin
Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Persia pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa
pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak
dan akhirnya pada tahun 750,
Abu Abbas as-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah
Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan
selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu
pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah.
Tetapi pada tahun 940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki
(dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13),
mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari pusat kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai
simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim
bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang
muslim Syiah
dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad,
mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair,
Tunisia,
dan Libya.
Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya
telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani
Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171 ditangan seorang pejuang muslim diera perang salib yakni
Shalahudin Al-Ayyubi. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin
komunitas Muslim
di Spanyol dan Portugal (Andalusia), kemudian mereka mengklaim kembali
gelar Khalifah pada tahun 929,
sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Menuju puncak keemasan
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah Saffah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Pola pemerintahan yang diterapkan
oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun
132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai
masa keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi pada saat itu. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani
Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Abbas,
pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya
digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M) yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syi'ah.
Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali,
keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Suriah dan Mesir dibunuh karena tidak
bersedia memba’iatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya dan kemudian menghukum mati Abu Muslim
al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad
dekat bekas ibu kota Persia Ctesiphon tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan
dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu
kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya,
di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang
pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator
dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal
dari Balkh,
Persia.
Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara di samping membenahi angkatan bersenjata
Kekhalifahan. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jabatan pos yang sudah ada sejak masa
dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jabatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jabatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada
khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia,
kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758
M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat
Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama
gencatan senjata 758-765 M Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspia,
Turki
di bagian lain Oxus, dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah
kembali berubah. Dia berkata:
“
|
Innama anii
Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di
bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut
ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia,
bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin. Di samping itu, berbeda dari Daulah Bani Umayyah,
khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur
dan belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi
(775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun
(813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq
(842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di
sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan
Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah
menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M)
dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan kedokteran, dan farmasi. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat dan tak tertandingi
bahkan oleh Bizantium sekalipun.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa
pemerintahannya penerjemahan terhadap buku-buku asing digalakkan. Untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli ( laa haula wa laa quwwata illaa billaah).
Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun
inilah Baghdad
mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M),
memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah,
Dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian dalam periode ini
banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti
gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi Khawarij
di Afrika Utara,
gerakan Zindiq di Persia, gerakan
Syi'ah,
dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan,
semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan
wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol Dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di
zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam
bidang pendidikan, misalnya di awal Islam lembaga pendidikan sudah mulai
berkembang. Ketika itu lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang ulama atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama yang bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan
berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan didalam
Islam. Hal ini
sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab,
baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling
tidak juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sebagaimana sudah disebutkan sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut,
terutama melalui gerakan terjemahan
buku bukan saja
membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan
agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran
pertama “tafsir bi al-ma'tsur”, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi
dan para sahabat. Kedua tafsir “bi al-ra'yi”, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada
pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini
memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali
bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang
sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu
Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat
hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di
tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat
kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi
al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu
Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i
Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad
ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem
madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para
muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi.
Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan
serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab
besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain
yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula.
Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu
hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah,
seperti Khawarij,
Murji'ah
dan Mu'tazilah
pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional
Mu'tazilah
muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang
lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani
Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang
membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus
pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu Huzail al-Allaf
(135-235 H/752-849M) dan an-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu Hasan as-Asy'ari
(873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh
oleh logika Yunani. Ini terjadi karena As-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut
Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga
berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan
penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom
Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal
di Eropa
dengan nama Al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi
dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina
yang juga seorang filosof
berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya
adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali
al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke
benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya
bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn
Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga
dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di
bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn
Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr
wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli
dalam ilmu geografi.
Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat,
antara lain al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles.
Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di
antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes,
banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat
aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami
peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar
pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan,
sastra, dan filosofi
dari Yunani,
Persia,
dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara
mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka
ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya
Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman
pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat
Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini
menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi
seperti Euclid
dan Claudius Ptolemy.
Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni
dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah
dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya
di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan
peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan
kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan
Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam
juga mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.
Pengaruh Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali
mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada
abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi
oleh bangsa Turki
tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara
dan Slav
dari Eropa Timur.
Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran
dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus
menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu
pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk
ini, yang kemudian dikenal dengan Bani Mamalik berhasil berkuasa, yang
pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah
yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal
ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam
memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu
kota dari Baghdad
ke Cairo
setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan
kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah
pimpinan Hulagu Khan.
Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan
(simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala
negara.
Pengaruh Bani Buwaih
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas
menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan
jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan
kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor
lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan
sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa
berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun
khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari
tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka. Tentara Turki
berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka
yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan
khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447
H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang
berpaham Syi'ah.
Pengaruh Bani Seljuk
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani
Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah
Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama
dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung
faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.
Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas
pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
- Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
- Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
- Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu,
provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai
terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang
politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara
pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan
Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar
dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak
seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan
dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol
dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat
sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya,
banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di
bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan
khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup
puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan
pembayaran upeti itu. Alasannya adalah:
- Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
- Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu,
provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
- Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
- Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di
Marokko, provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama
mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi
pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah
memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja
menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha
menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun,
sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad
kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin
yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat
mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai
mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan
orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem
perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki
ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah
(kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap
gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para
khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran
keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan,
seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak
bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka
yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan
periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya
pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana
salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan
kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti
Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode
kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri.
Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil.
Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di
Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak
baru dalam sejarah Islam,
yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian,
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Di samping kelemahan khalifah
banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur,
masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama
tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun,
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada
orang-orang Arab.
- Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
- Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas.
Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka
adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab
('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode
pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan
dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang
oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi
nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai
hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan
Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara
adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan
kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi
kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi,
karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil,
seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan
berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada
periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat,
sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di
antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia:
- Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
- Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
- Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
- Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
- Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
Yang berbangsa Turki:
- Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
- Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
- Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
- Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan
oleh Rukn al-Din
Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini
menguasai Baghdad
dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan
Sulthan Alib Arselan Rahimahullah
memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil
menawannya.
b. Seljuk Kinnan di Kirman,
(433-583 H/1040-1187 M).
c. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117
M).
d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan,
(511-590 H/1117-1194 M).
e. Seljuk Ruum
atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia),
(470-700 H/1077-1299 M).
Yang berbangsa Kurdi:
- al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
- Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
- al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
Yang berbangsa Arab:
- Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
- Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
- Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
- 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
- Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
- Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
- Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
- Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas
adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Di samping latar
belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah
maupun Sunni.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang
ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Baitul Mal
penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak
hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan
negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan
diri dan tidak lagi membayar upeti
kepada pemerintah pusat. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan
para khalifah dan pejabat yang semakin mewah. jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang
buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan
fanatisme kesukuan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan
kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong
sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa
keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi
merasa perlu mendirikan jabatan khusus untuk mengawasi kegiatan
orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah.
Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh
konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut pendukungnya banyak
berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlus Sunnah. Antara keduanya sering terjadi
konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil,
misalnya, memerintahkan agar makam Husein bin Ali di Karballa dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali
memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.
Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih
dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah
di Mesir
adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada
konflik antara muslim
dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah
saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah
yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah
oleh golongan salafy.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun,
khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil
(847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hambali terhadap Mu'tazilah yang rasional
dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual
padahal para salaf
telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang
dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran
golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa
aliran Asy'ariyah tumbuh subur
dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlus Sunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut
mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Amir Ali mengatakan:
“
|
Agama Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti
juga agama Isa
‘alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari
dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada
kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan
kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan
mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal
kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam
...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi
sebab binasanya jiwa-jiwa berharga
|
”
|
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor
internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
- Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
- Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus
II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali
keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan
invasi dari tentara Muslim
atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumnya tentara Sultan Alp Arselan Rahimahullah
tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa
ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis
dan Armenia,
peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak
sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya
Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang
berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Muta'shim,
penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak
mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah,
Ibnu Alqami ingin mengambil kesempatan dengan
menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka
untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengnikahkan anak perempuannya dengan Abu Bakar bin Mu'tashim,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu
Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan,
sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, ia keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata
dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan.
Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan
khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan
orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan
khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua
termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan
Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah,
sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah
dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun,
sebelum melanjutkan gerakan ke Suriah dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan
saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga
merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad
sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah
ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang
dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
- 750-Abu Abbas As-Saffah menjadi Khalifah pertama Bani Abbasiyah.
- 752-Bermulanya Kekhalifahan Bani Abbasiyah.
- 755-Pemberontakan Abdullah bin Ali. Pembunuhan Abu Muslim Al-Khurasani.
- 756-Abdurrahman I mendirikan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol.
- 763-Pembangunan kota Bagdad. Kekalahan tentara Abbasiyyah di Spanyol.
- 786-Harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.
- 792-Serangan ke utara Perancis.
- 800-Kaidah keilmuan mulai terbentuk. Aljabar diciptakan oleh Al-Khawarizmi.
- 805-Kampanye melawan Byzantium. Merebut Pulau Rhodes dan Siprus.
- 809-wafatnya Harun ar-Rasyid. al-Amin dilantik menjadi khalifah.
- 814-Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun. al-Amin terbunuh dan al-Ma'mun menjadi khalifah.
- 1000-Masjid Besar Cordoba dibangun.
- 1005-Multan dan Ghur ditawan.
- 1055-Baghdad dikuasai oleh tentara Turki Seljuk. Pemerintahan Abbasiyah-Seljuk dimulai sampai sekitar tahun 1258 ketika tentara Mongol menghancurkan Baghdad.
- 1071-Peristiwa Manzikert. Sultan Alp Arselan beserta pasukannya yang hanya berjumlah 15.000 tentara berhasil mengalahkan gabungan tentara salib yang dipimpim oleh Kaisar Romanus IV yang berjumlah 200.000 tentara.
- 1072-Sultan Alp Arselan berhasil menguasai Asia Tengah (Anatolia). dan meneruskan kepungannya terhadap kerajaan Byzantium.
- 1085-Tentara Kristen menawan Toledo, Spanyol.
- 1091-Bangsa Norman merebut Sisilia, pemerintahan Muslim di sana berakhir.
- 1095-Perang Salib pertama dimulai.
- 1099-Tentara Salib merebut Baitul Maqdis. Mereka membunuh semua penduduknya.
- 1144-Nuruddin merebut Edessa dari tentara Salib. Perang Salib Kedua dimulai.
- 1187-Salahuddin Al-Ayubbi merebut Baitul Maqdis dari tentara Salib. Perang Salib Ketiga dimulai.
- 1194-Tentara Muslim merebut Delhi, India.
- 1236-Tentara Salib merebut Cordoba, Spanyol.
- 1258-Tentara Mongol menyerang dan memusnahkan Baghdad. Ribuan penduduk terbunuh. Kejatuhan Baghdad. Tamatnya pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah di Baghdad.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Abbasiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar