Sabtu, 29 Desember 2012

Pertempuran Badar

Pertempuran Badar (bahasa Arab: غزوة بدر, ghazwātul badr), adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya yakni orang-orang kafir Quraisy. Perang ini terjadi pada tanggal 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadhan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslimin menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy yang kemudian mundur dalam kekacauan.

Sebelum pertempuran ini, kaum Muslim dan penduduk Mekkah telah terlibat dalam beberapa kali konflik bersenjata skala kecil antara akhir 623 Masehi sampai dengan awal 624 Masehi, dan konflik bersenjata tersebut semakin lama semakin sering terjadi. Meskipun demikian, Pertempuran Badar adalah pertempuran skala besar pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu. Nabi Muhammad SAW saat itu sedang memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang dari negeri Syam, ketika itu Ia dikejutkan oleh keberadaan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar setelah pihak Quraisy mendengar akan adanya gerakan kaum Muslimin yang bertujuan untuk mencegat kafilah mereka. Pasukan nabi Muhammad SAW yang sangat berdisiplin bergerak maju terhadap posisi pertahanan lawan yang kuat, dan berhasil menghancurkan barisan pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa pemimpin penting Quraisy, antara lain ialah Abu Jahal alias Amru bin Hisyam.

Bagi kaum Muslimin generasi awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti pertama bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di Mekkah. Mekkah saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah. Kemenangan kaum Muslimin juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa suatu kekuatan baru telah bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin atas berbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai, termasuk suku Aus dan Khazraj. Berbagai suku Arab mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslimin di Madinah. Dengan demikian, ekspansi agama Islam di Jazirah Arab pun dimulai.

Kekalahan Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka bersumpah untuk membalas dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun kemudian dalam Pertempuran Uhud.

Pendahuluan

Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah suku Badui, bangsa nomad penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan Zoroastrianisme.

Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah sekitar tahun 570 Masehi dari keluarga Bani Hasyim dari suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyepi di suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum. Dakwahnya ada yang diterima dengan baik tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada periode ini, nabi Muhammad Saw dilindungi oleh pamannya Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619 Masehi, kepemimpinan Bani Hasyim diteruskan kepada salah seorang musuh nabi Muhammad, yaitu Amru bin Hisyam, yang menghilangkan perlindungan kepada nabi Muhammad serta meningkatkan penganiayaan terhadap komunitas kaum Muslimin.

Pada tahun 622 Masehi, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang dilakukan kaum Quraisy kepada kaum Muslimin di Mekkah, nabi Muhammad dan banyak pengikutnya hijrah ke kota Madinah (dulu bernama Yatsrib). Hal ini menandai dimulainya kedudukan nabi Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok, pemerintahan dan agama.

Ghazwāt (peperangan)

Setelah kejadian hijrahnya nabi Muhamad, ketegangan antara kelompok masyarakat di Mekkah dan Madinah semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun 623 Masehi ketika kaum Muslimin memulai beberapa serangan (sering disebut ghazwāt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan Mekkah-Syam. Meskipun kebanyakan kaum Muslimin berasal dari kaum Quraisy juga, mereka yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang Quraisy Mekkah tersebut, karena sebelumnya kaum Quraisy telah menjarah harta dan rumah kaum Muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan telah mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan. Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan, kewibawaan, dan kepercayaan mereka.

Pada akhir tahun 623 Masehi dan awal tahun 624 Masehi, aksi ghazwāt semakin sering dan terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623 Masehi, nabi Muhammad memimpin sendiri 200 orang kaum Muslimin untuk melakukan serangan yang gagal terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu, kaum Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan mereka sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum Muslimin. Pada bulan Januari 624 Masehi, kaum Muslimin menyerang kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy Mekkah. Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah penyerangan itu terjadi pada bulan Rajab, bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata seharusnya dijalankan. Berdasarkan latar belakang inilah akhirnya Pertempuran Badar pun terjadi.

Pertempuran

Di musim semi tahun 624 Masehi, nabi Muhammad mendapatkan informasi dari mata-matanya bahwa salah satu kafilah dagang yang paling banyak membawa harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu Sufyan dan dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal sedang dalam perjalanan dari Suriah menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena beberapa kegagalan dalam penghadangan kafilah sebelumnya, nabi Muhammad pun mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300 orang, yang sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslimin yang pernah diterjunkan ke medan perang.
 
Pergerakan menuju Badar

Nabi Muhammad memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima utamanya, termasuk pamannya Hamzah dan para calon Khalifah pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda, yang berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang duduk di atas satu unta. Namun demikian, banyak sumber-sumber kalangan Muslimin pada awal masa itu, termasuk dalam Al-Qur'an sendiri tidak mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang serius dan calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut serta dalam perang karena istrinya sakit.
 
Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan mulai mendengar mengenai rencana nabi Muhammad untuk menyerangnya. Ia mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk memperingatkan kaumnya dan agar mereka mengirimkan bala bantuan. Segera saja kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang untuk melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang turut bergabung, termasuk di antaranya Amru bin Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah dan Umayyah bin Khalaf. Alasan keikutsertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah dagang tersebut, yang lain ikut untuk membalaskan dendam atas Ibnu al-Hadrami seorang penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum Muslimin. Amru bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya seorang bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf agar ikut serta dalam penyerangan ini.

Di saat itu pasukan nabi Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan yang telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar suatu lokasi yang biasanya menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang dalam rute perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas pengintai kaum Muslimin berhasil diketahui keberadaannya oleh para pengintai kafilah dagang Quraisy tersebut dan Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.
 
Rencana pasukan Muslim

"Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir". Al-Anfal: 7

Pada saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai keberangkatan pasukan dari Mekkah. Nabi Muhammad segera menggelar rapat dewan peperangan, disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk mundur dan di antara para pejuang Muslimin banyak yang baru saja masuk Islam (disebut kaum Anshar atau "Penolong", untuk membedakannya dengan kaum Muslimin Quraisy), yang sebelumnya hanya berjanji untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal dalam Piagam Madinah, mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat meninggalkan pasukan. Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah), dinyatakan bahwa mereka pun berjanji untuk berperang. Sa'ad bin Ubaidah, salah seorang kaum Anshar, bahkan berkata "Seandainya engkau (Muhammad) membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu." Akan tetapi, kaum Muslimin masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran terbuka dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.

Pada tanggal 15 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib) yang telah berkuda di depan barisan utama, berhasil menangkap dua orang pembawa persedian air dari pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat terkejut ketika mendengar para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari kafilah dagang, melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena menduga bahwa mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua tawanan tersebut sampai mereka berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan tetapi berdasarkan catatan tradisi, nabi Muhammad kemudian menghentikan tindakan tersebut. Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para bangsawan Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah Mekkah. Ia telah melemparkan kepada kalian potongan-potongan hatinya." Hari berikutnya nabi Muhammad memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.

Sumur Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah yang bernama "Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit besar bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah timur, nabi Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada sumur pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil diyakinkan oleh salah seorang pejuangnya, untuk memindahkan pasukan ke arah barat dan menduduki sumur yang terdekat dengan posisi pasukan Quraisy. Muhammad kemudian memerintahkan agar sumur-sumur yang lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus berperang melawan pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air yang tersisa.

Rencana pasukan Mekkah

"Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita akan maju ke depan dengan segala kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita untuk selama-lamanya." - Amru bin Hisyam

Di sisi lain, meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan pasukan Quraisy sejak saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan kedatangannya di perbatasan Badar, beberapa hal penting dapat dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab untuk membawa istri dan anak-anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka selama pertempuran, tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini. Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak menghubungi suku-suku Badui sekutu mereka yang banyak tersebar di seluruh Hijaz. Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu untuk mempersiapkan penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk melindungi kafilah dagang mereka.

Ketika pasukan Quraisy sampai di Juhfah, sedikit di arah selatan Badar, mereka menerima pesan dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagang telah aman berada di belakang pasukan tersebut, sehingga mereka dapat kembali ke Mekkah. Pada titik ini, menurut penelitian Karen Armstrong, muncul pertentangan kekuasaan di kalangan pasukan Mekkah. Amru bin Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa suku termasuk Bani Zuhrah dan Bani 'Adi segera kembali ke Mekkah. Armstrong memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan yang akan diraih oleh Amru bin Hisyam dari penghancuran kaum Muslimin. Sekelompok perwakilan Bani Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara sesukunya, turut pergi bersama kedua suku tersebut. Di luar beberapa kemunduran itu, Amru bin Hisyam tetap teguh dengan keinginannya untuk bertempur dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali sampai kita berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa orang dari kafilah dagang turut bergabung dengan pasukan utama.
 
Hari pertempuran

Di saat fajar tanggal 17 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya dan bergerak menuju lembah Badar. Telah turun hujan di hari sebelumnya, sehingga mereka harus berjuang ketika membawa kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit 'Aqanqal (beberapa sumber menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka berhasil mencapai puncak bukit). Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan Mekkah mendirikan kemah baru di dalam lembah. Saat beristirahat, mereka mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair bin Wahab, untuk mengetahui letak barisan-barisan pasukan Muslim. Umair melaporkan bahwa pasukan nabi Muhammad berjumlah kecil dan tidak ada pasukan pendukung Muslimin lainnya yang akan bergabung dalam peperangan. Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum Quraisy bila terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa ia melihat "unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa kematian"). Hal tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena adanya kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan korban, dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy. Meskipun demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amru bin Hisyam membungkam semua ketidakpuasan dengan membangkitkan rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut mereka agar menuntaskan hutang darah mereka.
 
Pertempuran diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua pasukan untuk berperang tanding. Tiga orang Anshar maju dari barisan kaum Muslimin, akan tetapi diteriaki agar mundur oleh pasukan Mekkah, yang tidak ingin menciptakan dendam yang tidak perlu dan menyatakan bahwa mereka hanya ingin bertarung melawan kaum Muslimin Quraisy. Karena itu, kaum Muslimin kemudian mengirimkan Ali, Ubaidah bin al-Harits, dan Hamzah. Para pemimpin Muslimin tersebut berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Mekkah dalam pertarungan tiga lawan tiga meskipun Ubaidah mendapat luka parah yang menyebabkan ia wafat.
 
Selanjutnya kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah lawannya. Dua orang Muslim dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran berlangsung, nabi Muhammad telah memberikan perintah kepada kaum Muslimin agar menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh mereka dan bertarung melawan kaum Quraisy dengan senjata-senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat. Segera setelah itu ia memberikan perintah untuk maju menyerbu, sambil melemparkan segenggam kerikil ke arah pasukan Mekkah, suatu tindakan yang mungkin merupakan suatu kebiasaan masyarakat Arab dan berseru "Kebingungan melanda mereka!" Pasukan Muslimin berseru "Ya manshur, amit!!" dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy. Besarnya kekuatan serbuan kaum Muslimin dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an, yang menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran Badar untuk membinasakan kaum Quraisy. Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai nabi Muhammad yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang segera saja tercerai-berai dan melarikan diri. Pertempuran itu sendiri berlangsung hanya beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.
 
Pasca pertempuran

Korban dan tawanan

Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan. Hal ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali bila ternyata jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badar jauh lebih sedikit, maka persentase pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar 4% dari jumlah mereka yang terlibat peperangan. Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah pihak menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika sedang bergerak mundur.

Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan beberapa orang Quraisy Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para tawanan tersebut. Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan kaum Muslimin tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan. Sa'ad dan Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar mengusulkan pengampunan. Nabi Muhammad akhirnya menyetujui usulan Abu Bakar dan sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian karena alasan hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu nabi Muhammad), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan memang kemudian sebagian melakukannya). Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah yakni Amru bin Hisyam dan Umayyah tewas pada saat atau setelah Pertempuran Badar. Demikian pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada nabi Muhammad saat ia masih berdakwah di Mekkah dibunuh dalam perjalanan kembali ke Madinah. Bilal, bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya bahkan sampai melukai seorang Muslimin yang ketika itu sedang mengawal Umayyah.
 
Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, nabi Muhammad memberikan perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke dalam sumur Badar. Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi penyebab kemarahan besar pada kaum Quraisy Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang baru saja ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai pembalasan atas kekalahan yang terjadi.
 
Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas di Badar haruslah merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembalasan, karena telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun. Akan tetapi selain pembunuhan awal yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih hidup kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga Muslimin di Madinah dan mendapatkan perlakuan yang baik, yaitu sebagai kerabat atau sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.

Dampak selanjutnya

Pertempuran Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang tokoh yang akan menentukan arah masa depan Jazirah Arabia di abad selanjutnya. Tokoh pertama adalah nabi Muhammad yang dalam semalam statusnya berubah dari seorang buangan dari Mekkah menjadi salah seorang pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong, "selama bertahun-tahun nabi Muhammad telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan, akan tetapi setelah keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu semua orang di Arabia mau tak mau harus menanggapinya secara serius." Marshall Hodgson menambahkan bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku Arab lainnya untuk "menganggap umat Muslim sebagai salah satu penantang dan pewaris potensial terhadap kewibawaan dan peranan politik yang dimiliki oleh kaum Quraisy." Kemenangan di Badar juga membuat nabi Muhammad dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah. Segera setelah itu, ia mengeluarkan Bani Qainuqa' dari Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay seorang Muslim pemimpin Bani Khazraj dan penentang nabi Muhammad, menemukan bahwa posisi politiknya di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya ia hanya mampu memberikan penentangan dengan pengaruh terbatas kepada nabi Muhammad.
 
Tokoh lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah Abu Sufyan. Kematian Amru bin Hisyam, serta banyak bangsawan Quraisy lainnya telah memberikan Abu Sufyan peluang yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin bagi kaum Quraisy. Sebagai akibatnya, saat pasukan nabi Muhammad bergerak memasuki Mekkah enam tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang membantu merundingkan penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada akhirnya menjadi pejabat berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam dan anaknya Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan mendirikan Kekhalifahan Umayyah di Damaskus, Suriah.

Keikutsertaan dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai, sehingga Ibnu Ishaq memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam biografi nabi Muhammad yang dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang bertempur di Badar dinyatakan dengan jelas sebagai bentuk penghormatan, bahkan kemungkinan mereka juga menerima semacam santunan pada tahun-tahun belakangan. Meninggalnya veteran Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat perang saudara Islam pertama. Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama bulan Ramadhan, yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat Muslim untuk mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar. Meskipun demikian pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi Islam, pasukan Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka sedang bergerak maju ke medan pertempuran.

Sumber sejarah

Badar dalam al-Qur'an

Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali 'Imran: 123-125

Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar, barisan-barisan kaum Muslimin diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat, sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah yang dipimpin oleh khalid bin Walid dapat menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang sama.

"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." Ali 'Imran:13

Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer. "Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah pertempuran tersebut terjadi.

Catatan tradisi Islam

Sesungguhnya seluruh pengetahuan mengenai Pertempuran Badar berasal dari catatan-catatan tradisi Islam, baik berupa hadits maupun biografi nabi Muhammad, yang dituliskan beberapa puluh tahun setelah kejadiannya. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, banyak suku-suku Arab yang hidup di jazirah Arabia buta huruf dan tradisi oral merupakan cara mereka untuk menyampaikan informasi. Pada saat Bala tentara Islam dapat menaklukkan suku-suku Arab yang lebih berpendidikan di Suriah dan Irak dapat dikatakan seluruh kaum Quraisy telah masuk Islam, sehingga menghilangkan peluang adanya catatan-catatan non-Muslim mengenai pertempuran tersebut. Kedua, dengan tersusunnya berbagai kompilasi hadits, maka naskah-naskah catatan aslinya menjadi tidak dibutuhkan lagi, dan menurut Hugh Kennedy kemudian dimusnahkan dengan "kecepatan yang menyedihkan". Terakhir, umumnya umat Muslim yang taat beranggapan bahwa para Muslim yang tewas di Badar adalah para syahid yang mulia, sehingga besar kemungkinan menjadi kendala bagi usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan penggalian arkeologis di Badar.

Referensi modern

Militer

Mengingat posisi pertempuran ini dalam sejarah Islam dan makna tersiratnya berupa kemenangan atas suatu penghalang yang sangat besar, maka pemakaian nama "Badar" menjadi populer di kalangan tentara atau kelompok paramiliter Islam. "Operasi Badar" adalah nama yang digunakan oleh Mesir untuk perannya dalam Perang Yom Kippur melawan Israel pada tahun 1973 dan Pakistan menggunakannya dalam Perang Kargil pada tahun 1999. Di Irak, sayap militer dari Dewan Tertinggi Revolusi Islam di Irak (SCIRI) menamakan diri sebagai Organisasi Badar.

The Message

Pertempuran Badar ditampilkan dalam film layar lebar berjudul The Message, yang diproduksi tahun 1976. Meskipun pada umumnya film ini sesuai dengan jalannya kejadian, terdapat beberapa perubahan yang nyata. Pasukan Quraisy digambarkan mengikutsertakan barisan kaum wanita, sedangkan keberadaan mereka sesungguhnya jelas tidak ada. Demikian pula tidak ditampilkan adanya kelompok yang tidak bersedia ikut bertempur, meskipun dalam film digambarkan Abu Sufyan menolak turut serta. Para pejuang di depan sumur Badar digambarkan melakukan tiga pertarungan satu lawan satu dan bukannya pertarungan berkelompok tiga lawan tiga. Selain itu, karena nabi Muhammad dan Ali tidak ditampilkan (hanya pedang Ali yang terlihat) karena alasan-alasan religius, maka Hamzahlah yang menjadi pemimpin resmi pasukan Muslim. Penampilan pertempurannya sendiri tampaknya menyerupai adegan pertempuran dalam film Zulu, yang memperlihatkan pasukan Quraisy melancarkan serangan habis-habisan terhadap barisan-barisan kaum Muslimin, yang dalam kenyataannya penyerangan seperti itu umumnya akan dapat menghancurkan pasukan yang lebih kecil. Baik Amru bin Hisyam maupun Umayyah digambarkan tewas dalam pertempuran dan kematian mereka merupakan klimaks dari pertarungan tersebut. Kejadian setelah peperangan digambarkan dengan sangat selektif menurut versi film ini, yang tidak menampilkan pembunuhan pasca pertempuran dan perdebatan di kalangan Muslimin mengenai para tawanan.

Bag. Perang Islam masa nabi Muhamad SAW

Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Badar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar